https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Wednesday, April 4, 2018

THE END OF GLOBALIZATION: Perang Dagang dan Berakhirnya Mitos Globalisasi



Globalisasi tampaknya akan segera berubah menjadi mitos, dan diskursus akan segera diwarnai dengan kembalinya istilah "nasionalisme." Hal ini terjadi ketika negara-negara besar seperti Amerika, negara-negara Eropa maupun Asia, sedang berusaha mencabut "hukum besi pasar bebasnya" dengan memproteksi diri dari serbuan masuknya komoditi perdagangan dari luar. Dalam situasi seperti ini, diskursus nasionalisme, kembali memiliki makna dan signifikansi yang cukup menarik.

Diskursus nasionalisme selama ini banyak dipengaruhi pemikiran Bennedict Anderson yang memunculkan kata kunci, imagined community -masyarakat terbayang (Lihat: Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism, 1991). Masyarakat yang tidak bertatap muka langsung, hanya ada dalam imajinasi, namun meyakini sebagai bagian dari sebuah kelompok, sehingga mampu membangkitkan ikatan bersama yang kuat. Ikatan bersama itu dibentuk oleh berbagai macam soal. Tentu saja terutama adalah dibentuk oleh kesamaan cita-cita dan kehendak untuk hidup bersama.

Salah satu cita-cita dan kehendak bersama yang muncul saat ini adalah bagaimana mempertahankan ketahanan ekonomi bangsa, di berbagai sektor, baik industri, pertanian, perikanan dan sektor-sektor lainnya, di tengah perang dagang antar negara yang tampaknya belakangan kian merebak. 

Belakangan ekonomi nasional Indonesia juga digerus oleh masuknya barang-barang impor, terutama dari China. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, Tiongkok selalu menduduki peringkat pertama negara pengimpor terbesar ke Indonesia, disusul Jepang dan Thailand. Pada periode Januari-Maret 2016, impor dari China mencapai US$ 7,13 miliar dengan pangsa pasar 25,40 persen. Dengan angka seperti itu, Indonesia mengelami defisit neraca perdagangan sejak 5 tahun lalu  (http://www.liputan6.com/bisnis/read/2484206/ini-barang-impor-dari-tiongkok-yang-bikin-perdagangan-ri-tekor).

Di tengah serbuan komoditi dari luar, dalam jumlah yang luar biasa, yang sudah sempat membikin defisit neraca perdagangan kita, ternyata belum cukup untuk menumbuhkan semangat nasionalisme -dalam arti di bidang ekonomi berusaha berpijak pada komoditi produksi dalam negeri sendiri. Impor tetap jalan dan barang-barang murah dari China mengalir terus ke Indonesia. Demikian juga nafsu impor tetap saja muncul seperti keinginan untuk impor beras, kedelai, garam dan berbagai komoditi yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.

Bandingkan dengan reaksi yang diberikan negara kampiun demokrasi dan penganut ideologi pasar bebas, Amerika Serikat. Ternyata, AS juga diserbu barang-barang impor, terutama dari China. Serbuan barang impor yang masuk ke Amerika Serikat, yang antara lain telah menjadikan surplus perdagangan China dengan Amerika belakangan meningkat tajam. Namun fenomena itu kemudian justru membangkitkan tumbuhnya nasionalisme, setidaknya di kalangan elite AS.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump seperti janjinya dalam kampanye, setelah terpilih kemudian berusaha memangkas surplus perdagangan China terhadap AS yang luar biasa besar itu, dengan harapan membalik surplus atau setidak-tidaknya membikin neraca perdagangannya dengan China berimbang. Janji Trump itu kemudian diwujudkan antara lain dengan menaikkan bea masuk impor baja dan untuk aluminium AS, yang kebijakannya itu tidak hanya berdampak pada China, tetapi juga negara-negara Eropa. 

Seperti juga negara-negara di Eropa, China tidak tinggal diam. Mulai awal April 2018 ini, secara resmi China  mengenakan bea masuk baru terhadap 128 barang impor dari Amerika Serikat (AS), sembari mengingatkan AS agar tidak membuka perang dagang. Oleh karena itu, munculnya ancaman perang dagang tampaknya sulit untuk dihindarkan.

Proteksi perdagangan yang diterapkan AS, tentu mendorong China untuk mengejar market baru. Dan tentu hal ini akan berdampak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Faktanya, belakangan semakin banyak barang China yang masuk Indonesia. 

Mengutip catatan BPS, berikut rincian barang yang masuk ke Indonesia: 1). Mesin-mesin/pesawaat mekanik senilai US$ 1,76 miliar; 2). Mesin/peralatan listrik ‎US$ 1,42 miliar; 3). Besi dan baja US$ 470,75 ‎juta; 4). Bahan kimia organi US$‎ 276,69 juta; 5). Plastik dan barang dari plastik US$ 257,13 juta; 6). Benda-benda dari besi dan baja US$ ‎202,98 juta; 7). Filamen buatan US$ 168,88 juta; 8). Pupuk US$ 146,09 juta; 9). Bahan kimia anorganik US$ 140,43 juta; 10). Kendaraan dan bagiannya US$ 134,53 juta; 11). Lainnya senilai US$ 2,15 miliar. 

Jika dilihat dari golongan penggunaan barang, impor China ke Indonesia, antara lain:
(1) Golongan barang-barang konsumsi; 1. Makanan dan minuman (primary) untuk rumah tangga; 2. Makanan dan minuman (proses) untuk rumah tangga; 3. Bahan bakar dan pelumas (proses); 4. Mobil penumpang; 5. Alat angkutan bukan untuk industri; 6. Barang konsumsi tahan lama; 7. Barang konsumsi setengah tahan lama; 8. Barang konsumsi tak tahan lama; 9. Barang yang tak diklasifiksikan

(2) Bahan baku dan penolong: 1. Makanan dan minuman (primary) untuk industri; 2. Makanan dan minuman (proses) untuk industri; 3. Bahan baku untuk industri (primary);
4. Bahan baku untuk industri (proses); 5. Bahan bakar dan pelumas (primary); 6. Bahan bakar motor; 7. Bahan bakar dan pelumas (proses); 8. Suku cadang dan perlengkapan barang modal; 9. Suku cadang dan perlengkapan alat angkutan

(3) Barang-barang modal: 1. Barang modal kecuali alat angkutaan; 2. Mobil penumpang; 3. Alat angkutan untuk industri.
(http://www.liputan6.com/bisnis/read/2484206/ini-barang-impor-dari-tiongkok-yang-bikin-perdagangan-ri-tekor).

Kesimpulan dan saran:
  1. Saat ini tengah muncul gejala nasionalisme ekonomi atau perdagangan, dan mulai berakhir mitos globalisasi. 
  2. Dunia tengah dibayangi ancaman perang dagang. Semua negara memunculkan semangat nasionalismenya dengan berusaha memproteksi perdagangan dan ekonomi negara masing-masing.
  3. Nasionalisme tidak hanya diwujudkan pada jargon dan slogan cinta tanah air. Tetapi di banyak negara, seperti AS, negara-negara Eropa maupun China diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang memperkuat ketahanan nasional mereka masing-masing, baik ketahanan pangan, industri, perdagangan untuk sektor ekonomi, di samping tentu saja juga dituangkan dalam sikap-sikap dan kebijakan politik dalam dan luar negeri. 
  4. Disarankan agar negara harus membangkitkan nasionalisme dengan memperkuat basis ekonomi nasional di berbagai sektor, sehingga tidak hanya menjadikan Indonesia  mampu menjaga keseimbangan neraca perdagangan dengan negara-negara lain, tetapi bisa menjadikan Indonesia benar-benar berdaulat.


Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html

1 comment:

LKPS said...

ada yang berkomentar, globalisasi akan jalan terus. China, yang merasa diuntungkan dengan globalisasi. Amerika saja yang takut. Komentar ini seperti ada benarnya. Huntington misalnya, sudah memberi warning dengan berteriak adanya clash of civilization (1993).